Pada kesempatan kali ini Mahasiswa Walisongo Pencinta Alam (Mawapala) telah melaksanakan Ekspedisi Suku Nusantara di Sulawesi Selatan dengan memilih Suku Kajang. Mengapa mereka memilih Suku Kajang sebagai target ekspedisi Suku Nusantara?
“Karena melihat dari akses dan juga transportasi yang mudah dijangkau dan upaya konservasi yang mudah di akses menjadikan kami tertarik untuk mengali lebih banyak tentang masyarakat Suku Kajang tersebut” imbau salah satu tim ekspedisi.
Ekspedisi ini bertujuan mengekplorasi masyarakat pedalaman Suku Kajang yang belum tersentuh oleh modernisasi dan juga membuat rumah baca ataupun rumah literasi untuk anak-anak dikawasan Suku Kajang.
Ekspedisi ini berlangsung dari tanggal 28 November – 06 Januari 2022. Ekspedisi ini terdiri dari 5 orang dalam 1 tim yaitu, Hamdani sebagai ketua, Vina Nafiatul Ulum sebagai sekretaris, Tri Susilo sebagai bendahara, Sutiroh sebagai perencanaan 1 dan yang terakhir Rizki Aryadin Mubarok sebagai Perencanaan 2.
Suku Kajang sendiri terletak di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Suku Kajang merupakan salah satu suku tradisional dan merupakan yang terbesar di Sulawesi Selatan. Bahasa konjo adalah bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi antar masyarakat Kajang. Masyarakat Kajang dipimpin oleh kepala adat yang dikenal dengan sebutan “AMMATOA” yang dipercaya memiliki ilmu spiritual dan dianggap suci oleh para pengikutnya. Agama yang dianut oleh masyarakat Suku Kajang adalah agama Islam atau dikenal dengan sebutan “Sallang” dan tuhan yang diyakini untuk meminta adalah Allah dalam bahasa konjo disebut TURIE A’RA’NA.
Adat dan istiadat pada masyarakat Suku Kajang masih cukup kental salah satunya yaitu mereka masih percaya bahwa hutan merupakan tangga naik turunnya arwah manusia dari bumi ke langit dan juga penghubung antara alam gaib dan alam nyata ajaran ini disebut dengan “Passang“.
“Tim melakukan eksplorasi Suku Kajang dalam sebanyak 3 kali. Ketika memasuki Kajang dalam tim wajib menggunakan pakaian serba hitam dan untuk laki-laki menggunakan ikat kepala seperti songkok yang bernama “Passapu” serta wajib menggunakan sarung. Kami mewawancarai Ammatoa mengenai konservasi yaitu dengan cara menjaga kawasan hutan adat yang dilarang untuk dimasuki. Tim juga sempat mengikuti Upacara Andingini yaitu upacara sedekah bumi dengan seperangkat pakaian serba hitam. Tim tinggal di Kajang luar selama kurang lebih 2 minggu, kemudian tim membangun rumah literasi bekerja sama dengan karang taruna Dusun Pangi.” Tegas Sutiroh salah satu tim ekspedisi.
Rumah Suku Kajang berbentuk panggung, terbuat dari papan yang dibangun tanpa menggunakan paku besi. Toilet dan kamar mandi pun sama terbuat dari tumpukan batu setinggi 1 meter di bawah pancuran air dari gunung. Masyarakat Suku Kajang masih menjaga kemurnian ini terbukti karena mereka belum tersentuh modernisasi perkotaan seperti listrik mereka hanya menggunakan obor untuk penerangan.
“Untuk pendidikan di Suku Kajang dalam bisa dibilang tidak ada karena memang masih menganut ajaran nenek moyang, sedangkan Suku Kajang luar untuk pendidikan sendiri sudah lumayan bagus karena memang banyak dari mereka yang sekolah walaupun ada beberapa yang tidak tetapi di Kajang luar ada yg sudah sekolah sampai jenjang kuliah.” Ujar Sutiroh salah satu tim ekspedisi.
Jadi alasan tim melakukan pembangunan rumah literasi dikawasan Suku Kajang luar. “Minat baca anak-anak di sana sangat tinggi dan rekomendasi karang taruna sebelumnya. Urgensi rumah literasi sebagai penunjang pendidikan untuk anak-anak Suku Kajang dengan adanya rumah literasi membantu anak-anak untuk membaca. Jumlah buku disana cukup banyak yaitu sebanyak 256 buku dengan 7 kategori. Rumah literasi sendiri terletak di Dusun Pangi, Kecamatan Tanah Toa, Bulukumba.” Ujar Sutiroh salah satu tim ekspedisi.
Tinggalkan Balasan