sampul belakang
Dok. Mawapala

‘’Take Nothing But Picture, Leave Nothing But Footprint, Kill Nothing But Time’’

Mengeluarkan dan menyimpan barang-barang yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan dan kebutuhan yang dihadapi Nobita dan kawan-kawan, pasti itu kantong ajaib Doraemon. Tetapi kalau kantong yang terbentuk ribuan tahun bahkan jutaan tahun dan dapat menjaga cadangan air, tidak lain itu adalah gua. Ruangan bawah tanah yang dapat dimasuki manusia dan menjadi bagian dari kehidupan manusia, tempat berlindung, beraktivitas manusia sejak zaman prasejarah. Tempat yang memiliki pesona indah yang diarsiteki oleh alam sendiri dan menjadi ekosistem bagi makhluk-makhluk endemik. Hubungan manusia dengan gua hingga saat ini masih terus berjalan, bukan hanya sebagai tempat untuk berlindung seperti halnya zaman prasejarah, melainkan sebagai salah satu penjaga stabilitas ketersediaan sumber kehidupan, yakni air. Gua yang terletak pada kawasan karst adalah kesatuan sumber daya alam yang sifatnya tidak dapat diperbaharui.

Proses terbentuknya gua di kawasan karst berlangsung selama ribuan bahkan jutaan tahun dan biasa disebut proses karstifikasi. Proses yang terjadi secara alami dari mulai proses kimiawi, proses fisik, proses permeabilitas dan proses-proses yang lainnya. Hasil dari proses tersebut diistilahkan sebagai bentang alam eksokarst dan endokarst. Gua termasuk dalam bentang alam endokarst yang sangat unik dan menarik, dimana kondisi identik adalah gelap gulita, memiliki ekosistem biologis yang endemik serta morfologi yang tidak dapat kita temukan di kawasan lain. Morfologi hasil proses karstifikasi yang terjadi didalam gua membentuk lorong-lorong dan ornamen-ornamen yang sangat indah seperti stalaktit, stalakmit, pilar, gordam, mutiara gua, teratai gua dan masih banyak lagi.

gua
Morfologi Endokarst (Dok. Mawapala)

Kondisi gelap gulita adalah kondisi gua yang sangat identik, yang mana kondisi tersebut menjadikan gua memiliki ekosistem tersendiri yang membentuk rantai kehidupan yang teratur. Ekosistem di dalam gua dan kawasan karst yang unik juga berperan menjadi penyeimbang ekologi. Rantai makanan yang terbentuk dalam lingkaran ekosistem perguaan sendiri seperti halnya rantai makanan dalam ekosistem di luar gua, dan sebagai penyambung utama antara ekosistem tersebut adalah kelelawar dan walet. Kelelawar dan walet sebagai pelaku yang memiliki peran penting bagi ekosistem didalam gua dan tanpa disadari kelelawar dan walet juga berperan dalam ekosistem diluar gua. Contoh kecilnya adalah kotoran kelelawar menjadi produsen atau sumber kehidupan ekosistem di dalam gua, sedangkan di lingkungan luar gua kelelawar membantu penyerbukan bunga, mengendali serangga serta pengendali hama pada tanaman. Sehingga secara tidak langsung kondisi dan keberadaan yang demikian, gua bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya terutama sektor pertanian dan perkebunan.

Gua di kawasan karst selalu berhubungan erat dengan keberadaan air. Selain memiliki ekosistem penyeimbang ekologi, gua dan kawasan karst adalah kantong penyimpan air. Kawasan karst adalah kawasan yang berfungsi sebagai penyimpan cadangan air bersih melalui jaringan-jaringan penyerapan air ke permukaan bawah tanah. Gua menjadi pipa alami penghubung lapisan resapan, lapisan penyimpanan dan mata air. Dari fungsi tersebut, kondisi di dalam gua yang masih mengalami proses kartifikasi biasanya terdapat air mulai dari tetesan, genangan, aliran air, sungai kecil hingga sungai besar bahkan air terjun pada lorong-lorongnya. Keberadaan air di gua dan kawasan karst selain menjadi penyangga kehidupan masyarakat juga penyangga ekosistem didalamnya seperti halnya ikan dan udang tanpa pigmen yang endemik di gua.

Ahmad Cahyadi dalam seminar nasional perubahan iklim di Indonesia pada 13 oktober 2010, menyampaikan bahwasanya UNESCO/IUGS pada tahun 1990-1994 telah mengenalkan peran kawasan karst dalam penyerapan karbondioksida melalui progam IGCP 299 dan IGCP 379. Dari progam tersebut diindikasikan bahwa karst bisa membantu untuk menangani siklus karbon global dan perubahan iklim global. Berdasarkan progam IGCP tersebut kawasan karst yang mengalami proses karstifikasi diperkirakan mampu menyerap karbon tahunan secara global dari atmosfer sekitar 1,5×108 ton per tahun. Berdasarkan tinjauan geografis, Indonesia yang berada diwilayah tropis memiliki curah hujan tinggi dan proses karstifikasi dapat berjalan secara intensif. Sehingga melalui tinjauan tersebut kawasan karst Indonesia  memiliki fungsi strategis dalam penyerapan karbon di atmosfir.

Berdasarkan sudut pandang ekonomi saat ini, gua dan kawasan karst menjadi sumber penghidupan masyarakat yang tidak terbatas. Eksploitasi kawasan karst menjadi sesuatu hal yang menjanjikan, terlebih di Indonesia memiliki kawasan karst yang bisa dibilang cukup luas. Kawasan karst dan gua menyumbang pundi-pundi uang bagi pelaku bisnis tambang dan turunannya. Tambang kapur atau batu gamping menempati posisi teratas dalam kegiatan eksploitasi kawasan ini. Komoditas utama dalam industri semen ini dieksploitasi besar-besaran guna memenuhi target serapan semen nasional, dan untuk menunjang progam pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, penambangan fosfat, marmer, sarang walet bahkan guano atau kotoran kelelawar juga memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat.

Kisah gua dalam sejarah

Melihat gua dari susut pandang lain, ingatkah dimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menerima wahyu? Dimanakah Rasulullah singgah sebelum hijrah ke Madinah? Dimana pemuda Ashabul Kahfi menyelamatkan diri dari pemimpin yang dholim? Dimana tempat manusia prasejarah yang ditemukan di Indonesia? Semua menunjukkan gua sebagai latar belakang tempatnya, terlepas dari kawasan karst ataupun tidak gua tersebut berada. Bahkan jika kita menengok sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, terdapat gua-gua alami dan buatan yang dijadikan sebagai markas dan tempat persembunyian pada saat itu. Melalui penelitian terbaru belum lama ini juga ditemukan bukti keberadaan gua hunian tertua di dunia berada di kawasan karst Maros, Sulawesi Selatan. Semua catatan tersebut menunjukkan bahwa gua memiliki peran strategis dalam sejarah keberadaan manusia. Dan dunia barat saat ini mulai mengembangkan gua sebagai hunian dan tempat publik seperti, bar, hotel, serta tempat singgah. Selain hal-hal diatas ada kepercayaan-kepercayan di tengah masyarakat Indonesia yang menjadikan gua sebagai tempat yang kramat, penuh mistis, pusat spiritual dan kebudayaan yang sarat akan nilai agama, ekonomi dan sosial budaya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menerima risalah pertama pertama kali di gua Hira’ adalah fokus kajian umum yang banyak beredar. Fokus tersebut bukan pada gua Hira’nya melainkan pada risalahnya, begitu juga di gua Tsur, gua Ashabul Kahfi, dan gua-gua lainnya dalam kajian yang beredar di masyarakat. Kajian-kajian yang ada memang berkaitan dengan substansi kejadian, karena kebutuhan akan substansi tersebut lebih besar dan belum merambah pada hal-hal pendukung substansi-substansi tersebut. Ketika melihat banyak hal yang dapat dikaji dari keberadaan gua, tidak ada salahnya penelitian saat ini merambah pada gua sebagai objek kajian. Keberadaan penggiat caving saat ini, baik di Indonesia maupun di luar negeri memungkinkan untuk melakukan kegiatan penelusuran gua dengan basis penelitian. Sehingga penelitian dan kajian tenang gua-gua baik di kawasan karst maupun diluar kawasan karst dapat menunjang, menguatkan dan mengembangkan sejarah yang telah tercatat dari segi pengetahuan, teknologi, agama, ekonomi dan berbagai aspek kehidupan masyarakat saat ini.

Gua sebagai subjek dan memiliki hak untuk tidak disakiti serta hak untuk tetap ada

World Commission Protected Area sebagai salah satu komisi dari International Union for Conservation of Nature mengungkapkan acuan pentingnya kawasan karst, yakni diantaranya adalah karst sebagai habitat flora dan fauna langka, karst sebagai kawasan mineral langka yang tidak terbarukan dan memiliki bentang alam yang unik, karst sebagai bagian penting kawasan prasejarah dan sejarah kebudayaan, karst sebagai kawasan penting untuk penelitian berbagai disiplin ilmu pengetahuan, karst sebagai wilayah religi dan spiritual, karst sebagai wilayah perkebunan dan industri khusus, karst sebagai kawasan kunci untuk mempelajari hidrologi kawasan dan karst sebagai tempat rekreasi dan wisata. Dan hal-hal tersebut dapat dijadikan acuan dalam upaya pelestarian gua dan kawasan karst.

Didalam gua tidak lagi diperlukan indra penglihatan, yang ada hanya setiap langkah perjalanan yang ditempuh akan memberikan banyak pengetahuan. Proses alami yang berlangsung pada kawasan karst terutama yang terjadi didalam gua bagaikan laboratorium  pengetahuan dari mulai geologi, arkeologi, hidrologi, sejarah, bahkan sampai kebudayaan. Keberadaan gua yang saat ini mulai terancam kelestariannya karena aktivitas tambang yang dilakukan oleh masyarakat baik secara legal maupun ilegal. Aktifitas berbagai tambang berdampak pada kelestarian gua ini ditandai dengan salah satunya sumber-sumber air yang ada dikawasan tersebut tercemar. Pencemaran air yang terjadi juga akan mempengaruhi sistem perairan dalam gua beserta ekosistem yang ada didalamnya. Selain tambang, perburuan kelelawar dan biota lain juga dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem yang ada di wilayah gua. Kemudian kebiasaan membuang sampah di gua vertikal atau kebanyakan disebut “luweng adalah kebiasaan yang juga berdampak buruk pada kelestarian gua dan lingkungannya.

Gua yang menjadi penyimpan cadangan air dan diibaratkan laboratorium alami yang menyimpan banyak pengetahuan, sudah semestinya diperlakukan dan diperhatikan sebaik-baiknya. Cadangan air di kawasan karst adalah sumber air bersih yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup manusia. Cadangan air yang menipis akibat tambang atau cadangan air yang tercemar akibat perilaku manusia merupakan ancaman nyata bagi masyarakat terutama yang tinggal di kawasan karst.

Tambang yang merusak lapisan epikarst sebagai lapisan penyerap air yang menjadi awal mula kawasan karst tidak dapat menyerap dan mencadangkan air. Kerusakan tersebut memicu pengurangan kemampuan kawasan menyerap air dan mengakibatkan tidak meresap kedalam tanah melainkan mengalir di permukaan sehingga terjadi banjir dan longsor di kawasan karst. Selain kerusakan lapisan epikarst, tambang juga sering mencemari sumber mata air kawasan karst dengan limbah yang dihasilkan saat menambang atau limbah proses produksi dari pabrik-pabrik semen.

Di Indonesia pedoman pelestarian gua dan kawasan karst berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia nomor 17 tahun 2012, tentang penetapan kawasan bentang alam karst. Jika suatu kawasan karst masuk dalam kriteria kawasan bentang alam karst, maka kawasan tersebut dilarang untuk ditambang. Karena memiliki nilai pengetahuan, daerah imbuhan air, memiliki mata air permanen atau memiliki jaringan sungai bawah tanah. Sejatinya ada 15 juta hektar kawasan karst di Indonesia dapat dilestarikan, terlebih setelah permen tersebut keluar, namun sampai saat ini lebih dari 155.000 kilometer persegi kawasan ini rusak. Kerusakan ini dipicu maraknya penambangan baik legal maupun ilegal yang berada di kawasan karst. Kerusakan kawasan tersebut juga karena tumpang tindih kebijakan dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Seringnya penetapan dan aturan oleh pemerintah pusat berbenturan dengan kebijakan politis pemerintah daerah untuk pengelolaan kawasan karst.

Fosil, artefak, dan lukisan sebagai tanda kehidupan manusia prasejarah yang ada didalam gua menyimpan banyak informasi tentang masa lalu. Pengelolaan pariwisata yang tidak memperhatikan aspek lingkungan kawasan karst juga turut menyumbang kerusakan gua dan kawasan karst. Pengaruh kerusakan gua dan kawasan karst lain datang dari sisi aktivitas kesenian dan kebudayaan, mitos dan cerita rakyat yang dulu dipegang erat oleh masyarakat, saat ini mulai ditinggalkan dan diabaikan. Sehingga kondisi tersebut secara tidak langsung memperlihatkan bahwa hanya tambang yang mampu memanfaatkan kawasan karst secara maksimal. Padahal dengan pariwisata yang berbasis ecotourism, aktivitas kesenian dan kebudayaan, mitos dan cerita rakyat adalah pagar sekaligus sarana pelestarian dan keseimbangan gua dan kawasan karst.

Sayang sekali jika masyarakat secara umum melihat gua dan kawasan karst ini hanya dari matematis ekonomi jangka pendek hingga memungkinkan ancaman kelestarian kawasan begitu besar. Sudut pandang ekonomi jangka pendek juga mampu merusak keseimbangan ekologi dari ekosistem sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui ini. Juga sudut pandang ekonomi jangka pendek akan berdampak pada kehidupan generasi yang akan datang yang mendiami kawasan ini menjalani kehidupan yang tidak normal karenanya. Membiarkan gua berproses secara alamiah dan dimanfaatkan sesuai kebutuhan adalah langkah bijak untuk memenuhi hak gua untuk tidak disakiti dan hak gua untuk tetap ada. Hak gua untuk tetap ada sejatinya demi kelangsungan hidup bagi manusia itu sendiri. Selama keberadaan gua dan lingkungannya terjaga dan dimanfaatkan secara bijak, maka manfaat yang didapatpun akan terus menerus didapat.

Menurut Yayuk R Suhardjono, peneliti bidang zoologi puslit biologi LIPI yang dimuat dalam website National Geographic Indonesia mengatakan, nilai penting keanekaragaman hayati dalam suatu ekosistem tidak cuma sebatas nilai ekonomi, melainkan juga soal keseimbangan ekosistem. Sejak tahun 2002 LIPI telah merintis penelitian biodiversitas di kawasan karst. Biodiversitas di ekosistem karst tergolong minim diteliti dibandingkan ekosistem lainnya. Pada ranah ini pengembangan pengetahuan yang kompleks perlu dipelajari untuk mununjang kelangsungan hidup ekosistem kawasan karst. Aktivitas dan peran para penggiat caving menjadi strategis dalam upaya pengkajian, penelitian dan kampanye sosial untuk kepentingan ini. selain akan berdampak pada data penelitian juga akan berdampak secara sosial politik kemasyarakatan dan kelestarian lingkungan.

Perlu kesadaran para penggiat alam bebas terutama penggiat caving dalam berperan aktif akan kebutuhan pengkajian, penelitian dan kampanye sosial guna menjaga kelestarian gua dan kawasan karst. Penggiat caving bukan hanya sekelompok orang yang hanya bermain dan berpetualang di gua dan kawasan karst tetapi memiliki beban moral dan sosial untuk mendampingi masyarakat dan mengawal pemerintahan guna keseimbangan ekosistem kawasan karst dan keseimbangan ekologi secara menyeluruh. Peran strategis ini dapat berdampak besar dan panjang jika dimanfaatkan sebaik-baiknya. Berperan secara semestinya dan bergerak sesuai porsinya sebagai kebutuhan bersama demi keseimbangan semesta.

Penulis: Khuzaimah (Kawan Wawor)
Editor: A. Izzat Maimun (Kawan Kaslan)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *