Foto: M. Arkham Z.P.

Corona Virus Disease 19/Covid-19, adalah pandemi wabah virus di Bumi yang terjadi sekarang ini. Dunia dibuat kalang-kabut oleh virus yang menyebar human to human ini. Mobilisasi di batasi, tempat umum ditutup, wisata dan obyek kerumunan sudah tidak bisa diakses, termasuk pendidikan untuk anak-anak dirubah sedemikian rupa mengikuti anjuran work form home karena lockdown atau pembatasan sosial berskala besar/PSBB.

Sekolah dan kampus sepi, wabah masih terjadi. Tentu pihak sekolah dan kampus dibuat bingung tentang sistem akademik yang dirubah menjadi daring. Kita cukup terpukul berjamaah akan musibah yang melanda saat ini. Wisuda ditunda, kalender akademik belum bisa ditetapkan dengan pasti.
Dunia tertampar keras, begitupula Indonesia. Rupiah tak tentu dan sering anjlok, anggaran Negara di pangkas untuk penanganan virus corona. Nahas, rakyat mulai merasa kesusahan karena sulit mencari mata pencaharian. Hutangpun sudah bukan solusi lagi karena terlampau sulit untuk membayarnya kelak. Yang lebih menakutkan, tidak tahu kapan ini akan berakhir, hanya prediksi dan teori yang ada.
Sudah lebih dari enam pekan wabah ini melanda di Indonesia, sejak kasus pertama positif di Jakarta, disusul Solo yang menetapkan sebagai KLB/Kejadian luar biasa setelah banyak kasus positif terjadi, dan akhirnya merebak secara nasional di seluruh wilayah Indoensia. Muncul rasa resah, juga kepanikan.
Ada lagi, isu mengenai krisis pangan, petani maupun pekerja kebun mulai jarang yang bisa menanam, distribusi juga mengalami kendala. Petaka yang terjadi berurutan mengantri sulit untuk dihindar. Sebenarnya, apakah memang terjadi tiba-tiba atau hasil dari perbuatan yang sebelumnya terjadi pada alam oleh jahatnya manusia?.
Tapi sudahlah, media lokal atau internasional, cetak maupun siber sudah cukup banyak menjejali narasi-narasi kepanikan seperti prakata tadi di atas. Pandemi masih berlangsung, jangan ditambah lagi dengan menyiarkan kepanikan pada masyarakat. Coba cari sudut pandang lain, ataupun mencari topik yang menenangkan. Pasti ada kabar baik diantara kabar buruk, tidak menyelesaikan masalah, tapi siklus yang baik dimasa yang tidak baik ini.
Berharap bisa lekas membaik, kegiatan kembali berjalan normal, banyak yang bisa dijadikan pembelajaran. Terlepas bagaimana wabah ini dimulai, tapi ada hal positif dibalik wabah ini. Alam membaik!.
Iya, dari kabar angin, kabar mulut ke mulut, alam mulai membaik. Polusi udara menurun, limbah berkurang, hewan-hewan mulai nampak senang. Mungkin ini adalah teguran juga untuk kita. Mungkin kita terlalu menyakiti alam, sehingga alam memberi peringatan, itupun kita gelagapan.
Seperti yang kita tahu, dampak pandemi tidak hanya berkutat pada manusia sebagai obyek korban. Tapi lingkungan dan alampun merasakannya. Kabarnya, alam mulai perlahan membaik, tidak sepenuhnya. Tapi tetap, mulai membaik. Ada dampak positif dari outbreak/wabah virus corona pada alam Indonesia.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebut jumlah sampah dari Jakarta menuju Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Bantargebang, Bekasi, berkurang signifikasi sejak penerapan work form home pada 16 Maret mencapai 620 ton per hari (Jakarta, CNN Indonesia 09 April 2020).
Tidak hanya itu, di tengah wabah corona, ternyata kondisi nitrogen dioksida atau polutan lingkungan di beberapa Negara mengalami penurunan polusi. Nitrogen dioksida/NO2 merupakan salah satu polutan di udara jika jumlahnya melewati batas. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofiska/BMKG menginformasikan bahwa kualitas udara pada Maret 2020 lebih bersih dibanding Maret 2019 (Kompas.com 24 April 2020).
Di media sosial juga banyak postingan viral yang menayangkan kejadian-kejadian menyenangkan seperti langit yang lebih cerah, pantai yang jernih, perairan yang jarang dilewati satwa ikan langka tiba-tiba terlihat melintas, dan fauna terancam punah yang terlihat menampakan dirinya lagi. Artinya, lingkungan mulai dirasa ‘nyaman’ oleh penghuninya selain manusia.
Berkaca dari sini, sudah sepatutnya kita bisa merasa lega untuk kondisi alam saat ini di tengah musibah yang melanda. Serta, bagaimana pemerintah serta masyarakat menyikapi fenomena baik selama pandemi untuk fokus pada penanganan lingkungan yang lebih baik lagi di kemudian hari pasca pandemi.
Bisa saja, ini adalah teguran untuk kita semua. Bagaimana kalang kabutnya kita saat tidak bisa sekedar keluar rumah untuk bertemu teman, khawatir pasokan makanan berkurang karena lahan teralu banyak di tanami beton dan baja sehingga tidak bisa ditumbuhi sumber energi untuk manusia yang tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh, panik saat tidak bisa bekerja untuk menafkahi keluarga.
Jika kita bisa terbiasa hidup berdampingan dengan alam, dengan lingkungan sekitar, perhatian akan daya dukung dan daya tampung alam untuk keberlangsungan ekosistem. Mungkin rasa khawatir tidak bisa makan, khawatir tidak bisa minum air dengan layak itu tidak akan dirasa jika sewaktu-waktu sistem nasional macet dan terisolir di daerah sendiri. Kebiasaan mau peduli ini juga bisa menular ke lainnya, pada human to human juga.
Jika rasa empati terhadap diri sendiri, terhadap lingkungan, terhadap orang lain dipupuk dan disemai dengan baik sedemikian rupa. Tentulah baik untuk kehidupan sosial juga, tidak akan ada lagi kabar warga yang kesusahan karena kelaparan, kompleks yang didatangi pencuri oleh gerombolan orang yang frustasi karena menganggur, dan lain sebagainya.
Bencana pandemi masih berlangsung, banyak pembelajaran yang bisa kita dapat. Semoga ihwal yang terjadi selama ini menjadikan kita mau untuk sekali lagi instrospeksi diri, apa yang salah atau apa yang keliru. Cukup keras pukulan yang kita alami, semoga pandemi ini segera berakhir.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *