![](https://mawapalauinsmg.files.wordpress.com/2021/02/kerusakan-lingkungan-1.jpg?w=600)
Indonesia, negeri Archipelago dengan bentang alam yang luas memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang banyak. Keanekaragaman hayati laut, pesisir, hutan, sungai, flora, fauna maupun komponen abiotiknya. Sebagai negara beriklim tropis yang hangat, tumbuhan dan hewan hidup baik membentuk ekosistem lingkungan.
Indonesia biasa disebut sebagai negara maritim atau negara kepulauan. Tentu karena di negara ini terdiri dari banyak pulau. Nama Indonesia berasal dari bahasa Yunani, yaitu Indo yang artinya India dan Nesia yang artinya pulau. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terbentang di khatulistiwa sepanjang 3.200 mil (5.120 Km²) dan terdiri atas 13.667 pulau besar dan kecil.
Dengan jumlah pulau yang banyak itu, Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati, khususnya keanekaragaman hayati pesisir dan kelautan. Pesisir Indonesia dengan sebagian besar berada di perairan Indo-Pasifik menjadi pusat keanekaragaman terumbu karang dunia dengan varietas lebih dari 400 spesies. Dengan luas terumbu karang 8,5 juta Ha, perairan Indonesia bermanfaat sebagai habitat ganggang laut. Suhu perairan Indonesia yang relatif hangat merupakan tempat yang sangat sesuai bagi ikan yang bermigrasi untuk berkembang biak seperti lumba-lumba, ikan tuna, ikan paus dan penyu.
Namun, seakan berlomba, pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia semakin meningkat dengan kemampuan daya tampung dan daya dukung lingkungan bertolak belakang tak seimbang. Timbul eksploitasi dan penggunaan lahan hijau secara berlebih akibat bertambahnya kebutuhan hidup manusia yang semakin banyak juga.
Dengan kondisi seperti itu, mulai bermunculan masalah terkait lingkungan. Mulai dari illegal logging, pembakaran hutan, penambangan kawasan karst, timbulan sampah yang banyak, perburuan hewan liar, sampai sengketa lingkungan hidup yang merugikan manusia itu sendiri, khususnya masyarakat terdampak.
Sengketa lingkungan hidup, kasus hukum yang sering menjadi isu pembicaraan hangat oleh semua kalangan setiap hari. Seperti kasus sengketa lahan Pulau Pari Kepulauan Seribu, pencemaran limbah PT. RUM Sukoharjo, lubang bekas galian tambang di Kalimantan, pencemaran DAS Citarum, dan sebagainya.
Sebagai negara hukum, tentu Negara Indonesia dalam menyelesaikan suatu permasalahan diselesaikan juga secara hukum sesuai dengan pasal 1 pembukaan UUD 1945, bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan republik Indonesia serta sebagai Negara hukum. Dalam penyelesaian sengketa, bisa dilakukan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Terkait sengketa lingkungan hidup, pengaturan lingkungan hidup ada UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup, kemudian diganti UU Nomor 27 Tahun 1999 dan yang terbaru adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sengketa lingkungan hidup bisa diselesaikan secara perdata, pidana, maupun administrasi jika melalui jalur Pengadilan dan apabila penyelesaian sengketa dilakukan di luar Pengadilan (ADR) bisa melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli.
Apabila terjadi sengketa dibidang lingkungan hidup, proses penyelesaian diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 Butir 25 (UUPPLH) mengatur bahwa:
“Sengketa lingkungan hidup adalah perselisishan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan atau telah berdampak pada lingkungam hidup.”
Lebih lanjut dalam Pasal 84 UUPPLH mengatur:
- Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
- Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
- Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian lingkungan hidup bersifat sukarela dan lebih menenkankan penyelesaian diluar pengadilan, artinya para pihak yang bersengketa dapat memilih forum penyelesaian sengketa lingkungan hidup apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan dan proses penyelesaian melalui pengadilan hanya dapat dilakukan jika proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan (mediasi) telah dilakukan dan tidak bisa berhasil menyelesaikan permasalahan.
Secara garis besar terdapat 2 (dua) cara atau bentuk penyelesaian sengketa lingkungan. Selain penyelesaian sengketa lingkungan yang diselesaikan di Pengadilan (in court), maka dikenal pula penyelesaian sengketa diluar Pengadilan (out court). Terdapat beberapa bentuk penyelesaian sengketa lingkungan di luar Pengadilan, seperti melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) atau alternative dispute resolution (ADR), yaitu berupa mediasi atau konsilasi.
Di Indonesia, ketentuan yang mengatur tentang ADR yaitu, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUADR) dan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (PPLPJ). Menurut UUADR, pengertian alternatif penyelesaian sengketa, seperti tercantum dalam Pasal 1 angka 10, adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Termasuk didalamnya adalah penyelesaian dengan arbitrase.
Sesuai dengan namanya, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) atau alternative dispute resolution (ADR) merupakan solusi dalam penyelesaian sengketa. Para pengusaha atau korporasi yang sering bersinggungan dengan kasus sengketa lingkungan hidup pada umumnya menghindari penyelesaian sengketa di pengadilan.
Hal ini kemungkinan disebabkan lamanya waktu yang tersita dalam proses pengadilan sehubungan dengan tahapantahapan (banding dan kasasi) yang harus dilalui, atau disebabkan sifat pengadilan yang terbuka untuk umum, sementara para pengusaha tidak suka masalah-masalah bisnisnya dipublikasikan, ataupun karena penanganan penyelesaian sengketa tidak dilakukan oleh tenaga-tenaga ahli dalam bidang tertentu yang dipilih sendiri.
Juga, dalam metode ini dinilai baik melihat kasus PT. Indo Acidatama Chemical Industry dengan petani Desa Kemiri, Kecamatan Kebakkramat, Kabupaten Karanganyar yang diselesaikan dengan alternative dispute resolution (ADR) melalui mediasi dan berhasil disepakati kedua belah pihak.
Namun, terdapat kendala juga dalam meyelesaikan masalah di luar pengadilan dalam sengketa lingkungan hidup. UU Nomor 32 Tahun 2009 sendiri ada beberapa kendala untuk dapat menyelesaikan sengketa lingkungan di luar pengadilan. Pasal 86 menyatakan bahwa masyarakat dapat membentuk penyedia jasa penyelesaian sengketa, namun tidak dijelaskan apakah pemerintah juga dapat membentuk jasa tersebut.
Lebih lanjut menurut Pasal 90 pemerintah dan pemerintah daerah diberikan hak untuk mengajukan gugatan tertentu termasuk melakukan Penelitian untuk menghitung ganti rugi, mekanisme ini dapat diatur dengan Peraturan Menteri. Jika yang bersengketa adalah dari pihak pemerintah sendiri, maka akan menimbulkan kecurigaan atas keberpihakan.
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan mempunyai beberapa kendala dalam pelaksanaannya antara lain belum adanya aturan pelaksana, belum jelasnya pedoman dari pemerintah untuk melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan masih rancunya pengertian penyelesaian melalui arbitrase.
Jadi, apakah alternative dispute resolution (ADR) merupakan masalah atau solusi dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup?. Jawabannya bisa iya dan tidak. Iya apabila masih sama dengan penjelasan tersebut diatas. Dan tidak bila adanya komitmen dan niat baik dari para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di luar pengadilan, dan melakukan perintah dari keputusan bersama tersebut misalnya membayar gantirugi yang telah disepakati atau melakukan tindakan terntentu.
Juga apabila lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup harus bersifat bebas dan tidak berpihak difasilitasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang pada intinya adalah untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa dengan cepat dan efisien untuk menangani penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, baik melalui Arbitrase, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan fact finding.
Serta Pemerintah juga harus konsisten dengan program pembangunan berkelanjutan (sustainable development), sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UUPPLH, yang mensyaratkan 7 adanya kelestarian lingkungan dan dipenuhinya hak masyarakat akan lingkungan yang bersih dan sehat. Dengan dilaksanakannya program tersebut secara konsisten, akan menghindari atau minimal mengurangi resiko sengketa lingkungan hidup.
Sumber :
Mila Saraswati dan Ida Widarningsih. Be Smart Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi,Sejarah, Sosiologi, Ekonomi) untuk kelas IX Sekolah Menengah Pertama. (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008) hlm.88
Aris Subagiyo, Wawargita Permata Wijayanti, Dwi Maulidatuz Zakiyah.Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.(Malang: Universitas Brawijaya Press, 2017). Hlm.5 https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/20355/19960 diakses pada 6 Januari 2021 pukul 02.00 WIB
Penulis : M. Arkham Z.P. (Kawan Gemblong)
Editor : Hani Pramono (Kawan Lemek)
Tinggalkan Balasan