Posted :

in :

Jogorogo adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Jogorogo memiliki beberapa tempat wisata, di antaranya Srambang, Kayangan, Selo Ondo. Di
Kecamatan Jogorogo terdapat objek wisata air terjun, dengan nama Air Terjun Srambang. Air
terjun ini berlokasi di Desa Girimulyo, desa yang tertinggi daerahnya di Kecamatan Jogorogo. Air Terjun Srambang berada di tengah hutan pinus (Perhutani) dan tentunya juga jalur pendakian Gunung Lawu Via Jogorogo meskipun sampai saat ini belum diresmikan.
Sejarah jalur pendakian Jogorogo dimulai pada Zaman Belanda, di mana jalur ini adalah
bekas jalur yang digunakan oleh Orang Belanda. Menurut sumber cerita dari para sesepuh desa, Desa Jogorogo terbentuk pada tahun 1512 Masehi. Asal-usul nama jalur pendakian Jogorogo berasal dari nama Desa Jogorogo itu sendiri, yang berasal dari kata “jogo” yang berarti menjaga jiwa dan kata “rogo” yang berarti badan.

Jalur pendakian Jogorogo juga terdapat mata air yang bernama Sendang Macan. Lokasinya
dekat dengan Pos 5, yaitu Cemoro Lawang dan Bulak Peperangan. Dari pertigaan tersebut, turun sedikit ke jalur pendakian via Candi Cetho dan terdapat juga Sendang Drajat yang lokasinya dekat dengan Hargo Dalem. Di jalur Jogorogo terdapat banyak flora seperti hutan pohon pinus arah Pos 1, pohon kopi arah Pos 2 dan terdapat fauna seperti babi hutan, lutung, rusa, ayam hutan, macan dan burung jalak. Burung jalak biasanya sudah terlihat di Pos 4 dan Pos 5, untuk rusa sendiri juga biasanya terlihat jejak nya di sekitar Pos 5 dan untuk babi hutan sudah terlihat di Pos 2.

Terdapat Cemoro Mencil di Pos 1 yaitu pohon cemara yang sendirian. Pos 1 dinamakan

Wukir Bayi karena di Pos 1 terdapat bangunan peninggalan Belanda berupa tungku dan sumur yang digunakan untuk memandikan bayi pada zaman dahulu. Terdapat Ndorowati di Pos 2 yang dipercaya sebagai tempat Keraton dan Tapak Petilasan yang biasanya digunakan untuk meminta kekuatan. Terdapat juga Patung atau Arca Kethek Putih baik secara kasat mata maupun gaib yang dipercaya ada di Ndorowati. Pos 2 dinamakan Ngudal dari Pewayangan yaitu Batoro Narodo. Di antara Pos 2 dan Pos 3 terdapat Sungai Watu Kloso yaitu sungai yang berbentuk lebar dan memanjang atau batu yang menyerupai tikar. Pos 3 dinamakan Bulak Akasia karena terdapat banyak tumbuhan akasia di sekitar Pos 3. Pos 3 didirikan beberapa tahun lalu dengan tujuan agar jarak antar Pos 2 dan Pos 4 tidak terlalu jauh. Terdapat Jurang Mele di Pos 3 dan Pos 4, menurut
Mbah Wikin “jalur nya tidak terlalu jauh tapi membuat setiap orang yang melewatinya merasa
sangat lelah hingga terengah-engah dan membuat orang yang melewatinya melet-melet” yang artinya menjulurkan lidah. Pos 4 Ondo Rante, “ondo” yang berarti tangga dan “rante” yang berarti rantai, jadi Ondo Rante berarti tangga yang panjang seperti rantai. Pos 5 dinamakan Cemoro Lawang karena terdapat dua pohon cemara besar yang seperti pintu, konon katanya jika tidak permisi saat melewati Cemoro Lawang, jalannya akan tertutup dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Pos 6 dinamakan Bulak Peperangan karena dahulu kala di tempat itu pernah terjadi peperangan atau permusuhan. Pos 7 dinamakan Gupakan Menjangan, “gupakan” berarti mandi dan “menjangan” yang berarti rusa, dahulu kala di tempat tersebut adalah tempat untuk hewanhewan mandi seperti rusa dan hewan lainya.
Terdapat Pasar Dieng setelah Pos 7, dinamakan demikian karena tempatnya bersih, tidak ada
rumput, dan batu-batunya tertata seperti orang berjualan di pasar. Tidak diketahui siapa yg menata batu-batu tersebut karena sudah ada sejak zaman dahulu dan sering terjadi fenomena saat malam hari ada beberapa orang yang mendengar seperti ada aktifitas jual beli layaknya di pasar. Setelah melewati Pasar Dieng terdapat tempat Hargo Dalem, dinamakan Hargo Dalem karena terdapat banyak rumah dalem. Setelah Hargo Dalem terdapat Hargo Dumilah yang merupakan Puncak tertinggi Gunung Lawu, semua nama-nama tersebut tentunya diberikan karena suatu kejadian.
Mbah Wikin berkata, “Setiap nama pasti ada sejarahnya, akan tetapi ada juga nama yang diberikan karena letak sekitarnya atau hanya sekedar nama untuk informasi saja”.
Pos yang di sarankan untuk mendirikan camp adalah Gupak Menjangan karena dekat dengan
mata air dan jika ingin mendapatkan sunrise disarankan untuk berangkat sebelum subuh dari camp. Gunung Lawu sendiri dikatakan sebagai gunung yang penuh misteri dikarenakan banyak kegiatan supra natural didalamnya, kesakralan dan adat istiadat yang kental. Oleh karena itu, sebelum memulai pendakian Gunung Lawu via Jogorogo, sebaiknya kita mentaati adat yang ada, yaitu seperti membawa Karuk Telur yang didalamnya berisi beras ketan hitam dan putih serta beras biasa yang digoreng, kupat dan lepet dibawa berpasangan sebanyak 3 pasang untuk diletakkan di Pos 1, Pos2 dan Pos 4. Ketika di Pos 1, saat meletakkan kupat dan lepet disarankan sambil meminta agar dimudahkan sampai ke puncak,mbah. Wikin berkata, “maka nanti badan terasa seperti didorong”. Sebagai pendaki yang bertamu ke tempat orang seharusnya kita menjalankan adat-adat tersebut karena bagaimanapun pasti ada maksud dari semua ini. Menurut sesepuh dan warga desa, gunanya adat-adat itu sendiri adalah sebagai salam untuk mengucap salam sebagai tamu di Gunung Lawu agar nantinya perjalanan sampai puncak lancar dan selamat. Menurut mbah Wikin kupat dan lepet digunakan karena diibaratkan sebagai perumpamaan “aku luput ya njaluk ngampuro”
yang artinya aku salah ya minta maaf, kupat diibaratkan sebagai perempuan dan lepet diibaratkan sebagai laki-laki yang meminta keselamatan. Kebanyakan orang yang mendaki Gunung Lawu via jalur Jogorogo pasti mempunyai tujuan atau hajat tersendiri seperti jabatan, kekuatan dan sebagainya. Terdapat burung Jalak yang konon katanya sebagai penjaga sekaligus penuntun arah di Gunung Lawu. Menurut sesepuh dan warga desa, Jalak tersebut adalah jelmaan dari Patih Brawijaya V.

Larangan atau pantangan di Gunung Lawu via Jogorogo antara lain adalah tidak boleh ganjil.
Ganjil di sini berarti tidak boleh berjumlah 3 orang, karena tiga berarti telon, telu, telas yang
artinya habis dan diibaratkan seperti orang mati yang diikat dengan tali tiga. Jika lebih dari 3 orang diperbolehkan, seperti berlima dan seterusnya. Memakai baju berwarna hijau berbahan sutra dilarang karena itu adalah baju kebesaran Keraton dan jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan seperti tersesat atau hilang maka akan sulit untuk dicari dan dievakuasi karena warnanya sama dengan dedaunan pohon yang ada di Gunung Lawu.
Pantangan lainya adalah tidak boleh berkeluh kesah seperti dingin, lelah, dan lain-lain, karena
Gunung Lawu Via Jogorogo adalah tempat di mana semua ucapan baik atau buruk pasti akan
dikabulkan. Maka dari itu, seperti yang masyarakat Jawa katakana, jika ingin berkeluh kesah
sebaiknya tidak sampai terucap karena jika terucap maka akan langsung kejadian. Misalnya
mengucapkan “anginnya kencang banget”, maka seketika anginnya akan langsung kencang. Selain itu, sebaiknya tidak berhenti atau camp di Pasar Setan atau Pasar Dieng, mitos yang beredar dan dipercayai oleh masyarakat sekitar yaitu sumur di dekat Pos 1 Wukir Bayi dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Misalnya jika sakit gigi dan berkumur menggunakan air di sana dengan niat dan tujuan meminta kesembuhan maka akan sembuh dan sebaliknya. Mbah Wikin berkata,“pernah ada orang yang kakinya terkena parang dan berdarah, tiba-tiba mencelupkan kakinya ke sumur itu malah tambah parah karena tempat itu tidak boleh dikotori meski niatnya untuk mencari kesembuhan”.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *